Welcome to my Blog, King's Ardent! Follow/Comment/Share
King's Ardent - INFOTAINMEN punya peran penting dalam memberi informasi. Siapa yang membicarakan kasus protes terhadap sampul album kelompok Dewa, sampul album Iwan Fals, protes terhadap Requiem from Java nya Linggar, dan Agus Suwage akibat Pinkswing Park ? Berhari-hari infotainmen membicarakan hal itu sementara buletin berita TV yang kata-nya serius, luput dari perdebatan budaya yang penting ini.
Perhatikan bahwa sebetulnya infotainmen bisa membuka dialog kultural penting seputar ketegangan antara proses kreatif seniman dengan kemungkinan penistaan [blasphemy] agama. Namun peluang ini lewat. Berita di infotainmen berhenti pada para orang terkenal yang terlibat dalam soal-soal itu saja. Karena niatnya sejak awal memang cuma sebatas orang-orang terkenal itu.
Niat itu - nama membuat berita - memang menjadi berhala liputan infotainmen, terutama di TV. Mereka seakan tak punya bahan liputan lain kecuali nama-nama yang beredar di TV. TV bagaikan mata air sekaligus muara infotainmen ini. Artis yang baru muncul sekali dua di TV sudah jadi bahan liputan sekalipun peristiwa yang dialami si artis adalah dicongkel kaca spion mobilnya. Atau kisah seorang penyanyi yang sudah sepuluh tahun lebuh tak mengeluarkan album, tak bernyanyi di depan umum, tak juga main sinetron. Ia dinobatkan sebagai selebriti terhebat tahun lalu. Karena si bekas penyanyi ini memang punya banyak kasus yang diliput oleh infotainmen sepanjang tahun. Berubahlah infotainmen dari sebuah sebuah tayangan berita menjadi show televisi sendiri. Infotainmen pun kehilangan esensinya dari sebuah tayangan berita.
Baca Juga : ALASAN MENGAPA CERDAS AJA GAK CUKUP || 3 Menit Baca
Seperti dikatakan di atas, topik-topik infotainmen punya nilai penting. Selain soal perdebatan budaya seperti di atas, ada peluang infotainmen menyampaikan pengetahuan seputar hukum pernikahan dan perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, soal hak cipta dan masih banyak lagi.
Namun infotainmen kehilangan semua kesempatan itu. Peristiwa-peristiwa itu diliput tanpa perspektif. Perceraian artis hanya dilihat rame-rame soal berebut anak atau perkelahian keluarga. Mengapa tidak memasukkan komentar soal hak pengasuhan atas anak dalam hukum kita ? Artis yang mengadu ke polisi dengan mengaku dipukuli suaminya, hanya diliput sekedarnya. Kemana kaitan soal ini dengan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga ? Banyak lagi hal-hal penting yang luput.
Hilangnya kesempatan itu sudah terbayangkan dari deadline yang harus dikerjakan para pekerja infotainmen ini. Tadinya satu stasiun TV hanya menayangkan satu infotainmen sehari, sekarang nyaris semua stasiun TV menayangkan tiga kali sehari. Nama boleh lain, tapi dengan rumah produksi yang sama, bahan hanya daur ulang. Kualitas kedodoran ke mana-mana.
Di sinilah stasiun TV seharusnya mengambil peranan. Infotainmen bagaimanapun dikerjakan rumah produksi. Secara esensial memang tak ada perbedaan antara sebuah rumah produksi dengan perusahaan media. Seharusnya tak ada persoalan apapun bagi rumah produksi menerapkan standar-standar jurnalistik serupa dengan sebuah perusahaan media. Paling tidak, rumah produksi infotainmen sudah seharusnya memiliki standar etika dan prilaku. Kini para pekerja infotainmen sudah bernaung dibawah PWI, dan sudah tinggal mengikuti standar kerja wartawan pada umumnya.
Baca Juga : M U N I C H ~ Steven Spielberg dan Dendam Bangsanya || Movie
Namun ini memang baru menyentuh aspek praktek saja. Aspek muatan di baliknya, belum tersentuh. Di sini berlakulah hukum pasok dan permintaan. Jika tadinya satu stasiun TV hanya punya satu infotainmen sehari, kini jadi lipat tiga. Waktu kerja jadi makin singkat dan kualitas makin tak terjaga. Alih-alih menghadirkan sesuatu yang bernilai penting, kualitas infotainmen malahan munurun kalau tidak jatuh bebas. Padahal stasiun TV tak harus menghilangkan kontrol tersebut. Kecuali mereka tidak keberatan menghadirkan siaran tak berkualitas saja.
Jika peluang menghadirkan kualitas diabaikan oleh televisi, maka apa yang sebenarnya sedang disuguhkan kepada penonton ? Jangan-jangan televisi memang tidak pernah peduli pada penontonnya. Kalau begitu apa makna sesungguhnya dari rating yang jadi yang Maha Esa bagi televisi ? Bahwa penonton itu bodoh dan butuh tontonan tak berkualitas ? Tak mungkin pekerja televisi bertelanjang bulat "Ya" menjawab pertanyaan tadi. Tapi jika jauh kata dari perbuatan, televisi jika berutang pada penontonnya. Siapa mau menolak keberadaan televisi di jaman seperti ini ?
Comments
Post a Comment